SAINS dan AGAMA
Stat Counter
Dua orang Doktor pada bidangnya, menulis tentang agama dan sains; mereka adalah Dr Ioanes Rakmat dan Dr. Wendi Zarman, yang menulis tentang Mengislamkan Sains: Apanya yang Diislamkan? Tulisan tersebut, menjadi bahan telaah banyak orang, termasuk diriku. Agaknya, ada teman yang mengirim link tulisan Dr Wendi Zarman ke/pada Dr Ioanes Rakhmat. Dr Ioanes Rakmat, menjawab Mengislamkan Sains: Apanya yang Diislamkan dengan tulisan bertajuk Dr. Wendi Zarman Mau Membangun Sains Islam?!
Anda tertarik membaca buah pikir mereka!? Silahkan teruskan membaca.Karena didalamnya ada hal-hal menarik, yang bisa menjadi bahan perenungan bersama tentang kubu sains dan agama, yang kadang saling menjatuhkan; serta tak pernah menyatu.
Hingga saat ini masih banyak pihak yang merasa sangsi dengan keberadaan sains Islam. Tidak sedikit di antara pihak-pihak tersebut adalah Muslim juga. Mereka menganggap wacana sains Islam dan pengislaman sains merupakan sesuatu yang absurd, karena ilmu sains itu netral.
Logikanya, menurut mereka, alam itu terlihat sama saja bagi siapa saja, baik orang Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau agama apapun. Seorang ilmuwan di Eropa yang terpisah ribuan kilometer dari ilmuwan Indonesia pastilah akan menemukan kenyataan yang sama jika menyangkut fenomena alam yang sama. Demikian klaim mereka.
Wacana sains Islam atau pengislaman sains bukanlah wacana yang mengada-ada atau utopia belaka. Harus diakui bahwa tidak mudah meyakinkan hal ini sebab mayoritas umat Islam dididik di dalam paradigma pendidikan yang sekularistik ketika membahas sains. Namun dengan kesungguhan dan ketekunan para ulama dan ilmuwan yang dilandasi dengan niat yang ikhlas, insya Allah, gagasan ini akan terus berkembang dan mendapat tempat di masyarakat. Wallahua'lam.
Saya baca tulisan Dr. Zarman itu sampai tiga kali untuk menemukan isi sains Islam-nya; tapi saya tak menemukannya sama sekali. Saya sangat berharap dapat menemukan matematika Islam, fisika Islam, ilmu kedokteran Islam, astronomi Islam, dll. Tapi tak ada di dalam tulisannya ini.
Saya hanya bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “sains Islam” oleh Dr. Zarman adalah teologi Islam tentang apa itu sains dan bagaimana sains itu harus dimanfaatkan.
Dalam teologi Dr. Zarman, sains adalah usaha memahami/menjelaskan alam sebagai ayat dan tanda keberadaan Alloh SWT. Jika sains dipandang sebagai suatu usaha menyingkap ayat dan tanda keberadaan Alloh, bagi Dr. Zarman, umat Islam akan bisa memanfaatkan sains dengan baik dan benar. Jadi, yang disampaikan Dr. Zarman bukanlah isi sains Islam, tapi moral Islam dalam pemanfaatan sains
Akhir kata, pernyataan Dr. Zarman “sains mendorong orang semakin religius,” sangat patut diragukan kebenarannya! Let science be science! Don't religionize science!
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
Islamisasi Sains: Apanya Yang Diislamkan?
Oleh: Dr. Wendi Zarman
Hingga saat ini masih banyak pihak yang merasa sangsi dengan keberadaan sains Islam. Tidak sedikit di antara pihak-pihak tersebut adalah Muslim juga. Mereka menganggap wacana sains Islam dan pengislaman sains merupakan sesuatu yang absurd, karena ilmu sains itu netral. Logikanya, menurut mereka, alam itu terlihat sama saja bagi siapa saja, baik orang Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau agama apapun. Seorang ilmuwan di Eropa yang terpisah ribuan kilometer dari ilmuwan Indonesia pastilah akan menemukan kenyataan yang sama jika menyangkut fenomena alam yang sama. Demikian klaim mereka.
Mereka bukan saja pesimis dengan wacana sains Islam, tapi terkadang agak sinis. Sains Islam diolok-olok dengan mengesankan sains Islam tak lain adalah wacana membuat pesawat Islam, komputer Islam, dan teknologi berlabel Islam lainnya. Ada juga yang menuding bahwa sains Islam adalah sains yang dimulai dengan bismillah. Lainnya lagi menuduh sains Islam adalah soal mencocok-cocokkan ayat-ayat al-Qur’an dengan penemuan sains mutakhir kemudian mengklaim bahwa Islam telah lama mengungkap hal tersebut.
Semua ini menunjukkan bahwa para pengkritik itu sebenarnya tidak betul-betul mendalami wacana tersebut. Sebab, sesungguhnya gagasan sains Islam yang dimaksud bukanlah sesederhana itu, meskipun sebagian dari yang disebut di atas termasuk bagian dari sains Islam itu sendiri, tapi karena disampaikan dengan olok-olok maka semua hal tersebut terdengar menggelikan.
Wacana sains Islam adalah wacana yang sangat filosofis yang berakar dari pemikiran mengenai hakikat ilmu di dalam Islam. Maka ketika berbicara ilmu sains, maka disitu terkait dengan apa makna ilmu, tujuan mencari ilmu, penggolongan ilmu, makna kebenaran, tingkatan wujud (realitas), saluran-saluran ilmu, makna alam (yang satu akar kata dengan ilmu), metodologi penarikan kesimpulan, adab-adab menuntut ilmu, dan lain sebagainya. Maka proses islamisasi ilmu alam (sains) tidak lain adalah mengislamkan persoalan-persoalan di atas dengan cara meletakkannya dalam kerangka pandangan hidup Islam (Islamic Worldview).
Mengulas hal di atas secara lengkap tentunya amat sulit jika mengandalkan tulisan yang pendek ini. Tapi sebagai contoh, dapat kami kemukakan bahwa islamisasi sains salah satu maknanya adalah islamisasi mengenai makna alam yang merupakan obyek ilmu sains itu sendiri. Di dalam paradigma sains modern alam adalah benda semata, tidak punya makna ruhani, maka dari itu nilainya sangat rendah. Alam baru mempunyai nilai ketika ia bisa dikuasai dan dimanfaatkan. Maka kata Bacon, ilmu adalah kuasa (knowledge is power), yaitu kuasa untuk menaklukkan dan mengendalikan alam.
Sebaliknya, alam di dalam Islam dikenal sebagai ayat Allah, suatu sebutan yang juga disematkan kepada kalimat-kalimat yang ada di dalam al-Qur’an. Ayat tak lain merupakan sebutan untuk tanda. Istilah tanda adalah refleksi dari keberadaan sesuatu yang lain.
Keberadaan sesuatu yang lain yang dimaksud di sini adalah Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Berulangkali Allah menutup suatu kalimat di dalam al-Qur’an ketika berbicara mengenai fenomena alam dengan pernyataan bahwa semua itu (fenomena alam) adalah ayat-ayat Allah. Artinya, segala bentuk fenomena alam tak lain merupakan cara Allah untuk memperkenalkan dirinya kepada manusia, para hamba-hambanya.
Makna alam di atas memberikan konsekuensi besar terhadap tujuan mengembangkan ilmu sains. Alam dalam perspektif ini dipelajari tidak lain adalah untuk menangkap pesan-pesan Tuhan. Itu tidak berarti bahwa sains tidak dikembangkan untuk keperluan praktis guna membantu kehidupan manusia. Tetapi sains dalam pandangan Islam tidak hanya dikembangkan untuk keperluan praktis saja, melainkan juga sebagai sarana manusia mengenal Tuhannya sehingga dia menjadi seorang hamba yang baik. Bahkan hal terakhir ini merupakan tujuan terpenting dari belajar sains tersebut.
Cara pandang di atas memberi konsekuensi lanjutan. Tidak seperti yang terjadi di Barat, sains cenderung mendorong orang untuk menjadi agnostik, sekuler, dan atheis. Namun, sains dalam Islam justru mendorong manusia menjadi semakin religius. Sebab prinsip pertama dalam sains Islam adalah pengakuan akan wujud Tuhan lebih dahulu daripada wujud alam dan manusia itu sendiri, beserta sifat-sifat yang menyertai-Nya seperti Maha Esa, Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Mengatur, Maha Mengetahui, Maha Pengasih, Maha Mulia, dan lain sebagainya.
Sebaliknya, sains modern malah menempatkan Tuhan sebagai obyek yang diragukan keberadaan-Nya, sebaliknya wujud dirinyalah yang pertama kali diakui, sebagaimana ungkapan terkenal Descartes, “Aku berpikir maka aku ada”.
Pengakuan wujud (eksistensi) Tuhan, yang kita sebut beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan sendirinya tidak terpisah dengan pengakuan terhadap ajaran-ajaran-Nya. Sebab iman di dalam Islam bukan hanya bermakna percaya dalam pengertian kognitif, tetapi juga mengejawantah dalam sikap dan perbuatan manusia sebagai wakil Allah (khalifatullah) di bumi. Ungkapan wakil di sini merefleksikan amanah, artinya kehidupan manusia adalah bertujuan untuk menjalankan amanah Allah di bumi.
Maka sains dalam Islam bukan bertujuan untuk menurutkan kemauan manusia, melainkan dalam rangka menunaikan amanah Allah di bumi. Itu sebabnya tujuan dasar sains dalam sejarah Islam dikembangkan untuk kepentingan amal shalih, baik ibadah maupun muamalah. Misalnya, astronomi untuk memperkirakan waktu-waktu ibadah, matematika untuk menghitung warisan, kedokteran untuk menolong manusia, dan lain sebagainya.
Dari uraian yang singkat di atas (meski masih belum lengkap) dapat kita lihat betapa wacana sains Islam atau pengislaman sains bukanlah wacana yang mengada-ada atau utopia belaka. Harus diakui bahwa tidak mudah meyakinkan hal ini sebab mayoritas kita (umat Islam) dididik di dalam paradigma pendidikan yang sekularistik ketika membahas sains. Namun dengan kesungguhan dan ketekunan para ulama dan ilmuwan yang dilandasi dengan niat yang ikhlas, insya Allah, gagasan ini akan terus berkembang dan mendapat tempat di masyarakat.Wallahua’lam.*
Wendi Zarman, Peneliti di di Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN) Bandung
Dr. Wendi Zarman Mau Membangun Sains Islam?!
Dr Ioanes Rakhmat
Saya baca tulisan Dr. Zarman itu sampai tiga kali untuk menemukan isi sains Islam-nya; tapi saya tak menemukannya sama sekali. Saya sangat berharap dapat menemukan matematika Islam, fisika Islam, ilmu kedokteran Islam, astronomi Islam, dll. Tapi tak ada di dalam tulisannya itu.
Saya hanya bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “sains Islam” oleh Dr. Zarman adalah teologi Islam tentang apa itu sains dan bagaimana sains itu harus dimanfaatkan. Yang menyusahkan hati saya adalah Dr. Zarman menyamakan teologi Islam tentang sains dengan sains itu sendiri.
Dalam teologi Dr. Zarman, sains adalah usaha memahami/menjelaskan alam sebagai ayat dan tanda keberadaan Alloh SWT. Jika sains dipandang sebagai suatu usaha menyingkap ayat dan tanda keberadaan Alloh, bagi Dr. Zarman, umat Islam akan bisa memanfaatkan sains dengan baik dan benar. Jadi, yang disampaikan Dr. Zarman bukanlah isi sains Islam per se, tapi moral Islam dalam pemanfaatan sains.
Ya, hal yang disampaikan oleh Dr. Zarman tentu saja akan bisa diterima oleh orang non-Muslim juga, bahkan oleh orang ateis. Siapa yang tidak setuju jika sains harus digunakan dengan bermanfaat oleh manusia, apapun agama mereka? Silakan saja umat Islam memakai astronomi untuk keperluan menentukan waktu ibadah, matematika untuk menghitung warisan, dst.
Yang ingin saya temukan, misalnya matematika Islam, atau astronomi Islam, ilmu ukur Islam, ilmu kedokteran Islam, psikologi Islam, dll, apakah akan bisa ada dalam dunia ini? Misalnya, menurut ilmu ukur Islam, sudut siku-siku bukan 90 derajat, tapi 97 derajat, sudut lingkaran bukan 360, tapi 357 derajat. Atau, Dr. Zarman bisa usulkan, menurut kosmologi Islam, jagat raya kita baru berusia 6000 tahun, bukan 13,72 milyar tahun. Atau, Dr. Zarman bisa usulkan, menurut ilmu kedokteran Islam, segumpal janin dalam rahim seorang ibu memerlukan masa 2 tahun dalam kandungan sebelum dilahirkan sebagai seorang bayi yang sehat. Atau, dalam neurobiologi Islam, Dr. Zarman dapat mengusulkan bahwa setiap insan Muslim berpikir tidak dengan mekanisme neurologis dalam otak, tetapi dengan mekanisme kardiologis dalam jantung. Nah, sains-sains Islam yang khas dan unik inilah yang saya mau temukan dari pemikiran Dr. Zarman. Tapi dia tidak menyodorkannya; padahal saya berharap minimal contoh-contoh kecilnya saja dapat saya temukan dalam tulisannya.
Dr. Zarman juga menegaskan bahwa sains Islam harus pertama-tama bertolak dari “pengakuan” akan wujud dan keberadaan Tuhan Alloh SWT. Kalau memakai istilah sains yang umum, “pengakuan” (atau “keimanan”) disebut sebagai “aksioma” atau “postulat”. Ya, Dr. Zarman tentu benar, sebab setiap sains, termasuk sains eksakta, bukan hanya sains Islam, berpijak pada suatu aksioma atau postulat. Aksioma atau postulat adalah sebuah pernyataan tentang sesuatu yang kebenarannya tak diragukan lagi, hanya diterima benar apa adanya, tak perlu dibuktikan.
Tapi ada perbedaan sangat mendasar antara aksioma dalam dunia sains, dan kepercayaan atau pengakuan atau iman dalam agama sebagai aksioma. Aksioma dalam sains jelas terlihat, bisa objektif digambarkan dengan angka, coretan, tanda, simbol, bentuk, dll, pada papan tulis atau pada layar LCD komputer anda. Aksioma dalam agama tidak demikian.
Ambil contoh sebuah aksioma geometri (Euklidean, dari 5 aksioma yang ada): garis lurus adalah jarak terpendek dua buah titik. Aksioma ini bisa digambar pada bidang datar papan tulis dan berlaku universal dan abadi. Aksioma yang ditegaskan Dr. Zarman adalah aksioma agama: Alloh SWT itu ada. Aksioma Dr. Zarman ini tak bisa digambarkan pada papan tulis dalam bentuk apapun, dan tidak berlaku universal: bagi orang Yahudi, Yahweh Elohim yang menyatakan diri kepada Nabi Musa adalah Allah mereka; bagi orang Kristen, Allah mereka memiliki tiga kepribadian yang tidak bercampur dan juga tidak terpisah; bagi orang Yunani kuno, Dewa Zeus adalah Allah teragung mereka. Jadi, sebetulnya, setiap orang beragama akan mengakui dan mempercayai Allahnya sendiri saja, dan akan menolak untuk mengakui dan mempercayai Allah orang beragama lain. Tidak ada teologi yang universal!
Nah, kalau Dr. Zarman ingin membangun sains Islam, dia minimal harus tunjukkan bahwa isi aksioma atau isi pengakuan imannya itu ada, bisa diperlihatkan, bisa digambar pada papan tulis. Artinya: kalau sains Islam mau dibangun dan harus diakui sebagai sains, semua aksioma Dr. Zarman harus bisa diperlihatkan objektif ada. Tegasnya: Dr. Zarman harus bisa minimal menggambarkan di papan tulis bahwa Alloh SWT itu ada, jika dia mau membangun sains Islam yang betul-betul sains, bukan agama yang “disains-sainskan”, atau sains yang “diagama-agamakan”.
Dr. Zarman juga telah dengan keliru menyatakan bahwa dalam sains modern, alam atau jagat raya dinilai sangat rendah oleh para saintis. Kata Dr. Zarman, jagat raya telah kehilangan makna rohani transendentalnya di mata para saintis sekuler. Betulkah? Tidak betul!
Setahu saya, jagat raya dengan segala kebesaran dan misterinya memukau hampir semua saintis yang mengeksplorasinya. Albert Einstein, misalnya, mengakui bahwa dia masuk ke dalam suatu “suasana spiritual” non-agamawi ketika dia terpesona dan dibuat kagum oleh struktur harmonis jagat raya yang tanpa batas. Richard Feynman menyatakan bahwa ketika dia memandang langit malam dari suatu kawasan di padang gurun, dia “merasakan” keindahan jagat raya dan bukan hanya mau menjelaskannya secara saintifik.
Saya sendiri sedang mengembangkan sebuah spiritualitas yang saya namakan spiritualitas saintifik; simak di http://ioanesrakhmat.blogspot.com/ menuju-spiritualitas-saintifik.html. Selain itu, dalam sains sendiri orang dapat menemukan banyak “magic” dan “wonder”, seperti beberapa di antaranya telah saya beberkan di http://www.ioanesrakhmat.blogspot.com
Tetapi ada perbedaan sikap antara para agamawan dan para saintis ketika mereka masing-masing menatap pada kebesaran jagat raya dan misteri-misterinya. Para agamawan berusaha keras untuk menjaga misteri-misteri alam, yang diyakini mereka sebagai misteri-misteri ilahi yang tak boleh ditembus dan tak akan bisa dijelaskan; semakin mereka tak bisa memahami dan tak bisa menjelaskan misteri-misteri jagat raya, semakin yakin dan tahu mereka bahwa Allah itu ada.
Sebaliknya, para saintis justru terdorong kuat untuk menyibak dan menembus semua misteri alam, tentu saja secara bertahap dan dengan tak kenal lelah. Kalau para saintis masih belum bisa menyibak sebuah misteri jagat raya, ya mereka dengan lapang dada akan mengakui keterbatasan mereka, dan tak akan membuat pernyataan-pernyataan yang spektakuler tanpa bukti apapun. Dalam dunia sains berlaku ini: extra-ordinary claims require extra-ordinary evidence!
Jika anda mengajukan klaim-klaim yang luar biasa, sains menuntut anda untuk mengajukan bukti-bukti yang juga luar biasa untuk menopang kebenaran klaim-klaim anda itu!
Pada akhirnya adalah sebuah pertanyaan: Apakah mungkin membangun apa yang dinamakan sains agama atau sains skriptural? Usaha membangun sains agama atau sains skriptural adalah usaha keliru yang sia-sia belaka, seperti usaha menjaring angin, atau seperti usaha mengecat hamparan langit biru dengan cat warna merah. Kenapa?
Kata “sains” dan kata “agama” adalah dua kata yang bertabrakan satu sama lain, khususnya pada level epistemologi. Sains memakai epistemologi evidensialis (Latin: evidentia/bukti): setiap klaim saintifik yang benar dan absah harus dilandaskan pada bukti-bukti objektif autentik. Suatu kesimpulan saintifik, yang semula dijadikan hipotesis, ditarik lewat bukti, eksperimentasi, observasi, perhitungan matematis, pengukuran, dan penalaran yang konsisten, dan mempunyai kemampuan prediktif. Agama memakai epistemologi revelatif fideis: sesuatu diterima benar jika bersumber dari wahyu (Latin: revelationem) yang diterima hanya dengan iman (Latin: fidem), tanpa bukti. Jadi, menggabung kata “sains” dan kata “agama” hanya menghasilkan sebuah istilah yang berkontradiksi pada dirinya sendiri (contradictio in terminis)!
Jadi, beritahu Dr. Zarman di Institut Teknologi Bandung, membangun sains agama adalah suatu kegiatan yang naif dan sia-sia serta menyesatkan dan tidak mencerdaskan bangsanya sendiri, dan bisa ada hanya dalam dunia retorika saja sebagai oxymoron, tidak dalam dunia akademik.
Akhir kata: pernyataan Dr. Zarman “sains mendorong orang semakin religius” adalah sebuah pernyataan yang sangat patut diragukan kebenarannya! Kalau menurutnya hanya sains Islam yang dapat mendorong orang semakin religius, saya menunggunya untuk membeberkan isi sains Islamnya, sains Islam yang benar-benar sains, bukan teologinya tentang apa itu sains. Let science be science! Don't religionize science!
Dr Ioanes Rakhmat
Note:
Seorang teman yang manis (bernama Lila) memberi saya sebuah tulisan bertema “Sains Islam” oleh Dr. Wendi Zarman yang terpasang online di http://www.hidayatullah.com/ Saya tahu, Lila ingin saya menanggapi tulisan Dr. Zarman ini. Ok-lah, Lila! Tapi, silakan anda yang lain membaca dulu tulisan Dr. Zarman itu.
Apa sebenarnya “Islamisasi sains?”
Istilah “Islamisasi sains” sudah pernah nyaring bergema di Indonesia pada era 1980-an. Tapi, kemudian redup, sejalan dengan ketidakjelasan konsep dan pengembangannya. Bahkan, sering timbulkesalahpahaman.
Apa sebenarnya “Islamisasi sains?”
Secara umum, ada lima arus utama wacana Islamisasisains.
Pertama, Islamisasi sains dengan pendekatan instrumentalistik, yaitu pandangan yang menganggap ilmu atau sains hanya sebagai alat (instrumen). Artinya,sains terutama teknologi sekedar alat untuk mencapai tujuan, tidak memperdulikan sifat dari sains itu sendiri selama ia bermanfaat bagi pemakainya.
Pendekatan ini muncul dengan asumsi bahwa Barat maju dan berhasil menguasai dunia Islamdengan kekuatan sains dan teknologinya. Karena itu, untuk mengimbangi Barat, kaum Muslim harus juga menguasai sains dan teknologi. Jadi, Islamisasi di sini adalah bagaimana umat Islam menguasai kemajuan yang telah dikuasai Barat.
Islamisasi sains dengan pendekatan ini sebenarnya tidak termasuk dalam islamisasi sains yang hakiki. Banyak muslim yang ahli sains, bahkan meraih penghargaan dunia, namun tidak jarang dia makin jauh dari Islam. Meski demikian, pendekatan ini menyadarkan umat untuk bangkit melawan ketertinggalan dan mengambil langkah mengembangkan sains dan teknologi.
Kedua, Islamisasi sains yang paling menarik bagi sebagian ilmuwan dan kebanyakan kalangan awam adalah konsep justifikasi. Maksud justifikasi adalah penemuan ilmiah modern, terutama di bidang ilmu-ilmu alam diberikan justifikasi (pembenaran) melalui ayat Al-Quran maupun Al-Hadits. Metodologinya adalah dengan cara mengukur kebenaran al-Qur’an dengan fakta-fakta objektif dalam sains modern.
Tokoh paling populer dalam hal ini adalah Maurice Bucaille. Menurut dokter asal Perancis ini, penemuan sains modern sesuai dengan al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an, kitab yang tertulis 14 abad yang lalu, adalah wahyu Tuhan, bukan karangan Muhammad. Ilmuwan lain yang mengembangkan Islamisasi dengan pendekatan justifikasi ini adalah Harun Yahya,Zaghlul An-Najjar, Afzalur Rahman dll. Namun, konsep ini menuai banyak kritik, misalnya dari Ziauddin Sardar yang mengatakan bahwa legitimasi kepada al-Quran dalam kerangka sains modern tidak diperlukan oleh Kitab suci.
Meskipun bukan termasuk dalam kategori Islamisasi sains yang hakiki, pendekatan konsep ini sangat efektif mudah diterima oleh banyak Muslim serta meningkatkan kebanggaan mereka terhadap Islam. Namun demikian proses tersebut tidak cukup dan harus dikembangkan ke dalam konsep yang lebih mendasar dan menyentuh akar masalah kemunduran umat.
Ketiga, konsep Islamisasi sains berikutnya menggunakan pendekatan sakralisasi. Ide ini dikembangkan pertama kali oleh Seyyed Hossein Nasr. Baginya, sains modern yang sekarang ini bersifat sekular dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas sehingga perlu dilakukan sakralisasi.Nasr mengritik sains modern yang menghapus jejak Tuhan di dalam keteraturan alam. Alam bukan lagi dianggap sebagai ayat-ayat Alah tetapi entitas yang berdiri sendiri. Ia bagaikan mesin jam yang bekerja sendiri.
Ide sakralisasi sains mempunyai persamaan dengan proses islamisasi sains yang lain dalam hal mengkritisi sains sekular modern. Namun perbedaannya cukup menyolok karena menurut Nasr, sains sakral (sacred science) dibangun di atas konsep semua agama sama pada level esoteris (batin). Padahal Islamisasi sains seharusnya dibangun di atas kebenaran Islam. Sains sakral menafikan keunikan Islam karena menurutnya keunikan adalah milik semua agama. Sedangkan islamisasi sains menegaskan keunikan ajaran Islam sebagai agama yang benar.Oleh karena itu, sakralisasi ini akan tepat sebagai konsep Islamisasi jika nilai dan unsur kesakralan yang dimaksud di sana adalah nilai-nilai Islam.
Keempat, Islamisasi sains melalui proses integrasi, yaitu mengintegrasikan sains Barat dengan ilmu-ilmu Islam. Ide ini dikemukakan oleh Ismail Al-Faruqi. Menurutnya, akar dari kemunduran umat Islam di berbagai dimensi karena dualisme sistem pendidikan. Di satu sisi, sistem pendidikan Islam mengalami penyempitan makna dalam berbagai dimensi, sedangkan di sisi yang lain, pendidikan sekular sangat mewarnai pemikiran kaum Muslimin. Mengatasi dualisme sistem pendidikan ini merupakan tugas terbesar kaum Muslimin pada abad ke-15 H.
Al-Faruqi menyimpulkan solusi dualisme dalam pendidikan dengan islamisasi ilmu sains. Sistem pendidikan harus dibenahi dan dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan dan disatukan dengan jiwa Islam dan berfungsi sebagai bagian yang integral dari paradigmanya. Al-Faruqi menjelaskan pengertian Islamisasi sains sebagai usaha yaitu memberikan definisi baru, mengatur data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sehingga disiplin-disiplin itu memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita Islam.
Kelima, konsep Islamisasi sains yang paling mendasar dan menyentuh akar permasalahan sains adalah Islamisasi yang berlandaskan paradigma Islam. Ide ini yang disampaikan pertama kali secara sistematis oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Menurut al-Attas, tantangan terbesar yang dihadapi kaum Muslim adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral telah merasuk ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis yang berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Oleh karena itu islamisasi sains dimulai dengan membongkar sumber kerusakan ilmu. Ilmu-ilmu modern harus diperiksa ulang dengan teliti.
Itu sebabnya al-Attas mengartikan Islamisasi sebagai, ”Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekular terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekular dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya…Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya…” (Islam dan Sekularisme, 2010).
Oleh karena dalam hal ini ada dua cara metode Islamisasi yang saling berhubungan dan sesuai urutan. Pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Kedua, memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.
Dengan demikian Islamisasi sains akan membuat umat Islam terbebaskan dari belenggu hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Tujuannya adalah wujudnya keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya (fitrah).
Islamisasi melindungi umat Islam dari sains yang menimbulkan kekeliruan dan mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya. Oleh karena itu islamisasi sains tidak bisa tercapai hanya dengan menempeli (melabelisasi) sains dengan prinsip Islam. Hal ini hanya akan memperburuk keadaan selama “virus”nya masih berada dalam tubuh sains itu sendiri.
Jadi, Islamisasi sains tidak sesederhana, misalnya, tidak sekedar menyalakan lampu dengan terlebih dahulu membaca basmalah. Islamisasi sains adalah sebuah konsep dasar yang berkaitan dengan worldview seorang muslim untuk mengembalikan Islam menuju peradaban dunia yang berjaya. (***)
Magic and Wonder in Science
Semakin kita memasuki dengan dalam dunia sains, semakin banyak “magic” dan “wonder” kita temukan, yang membuat kita berdecak, terpukau, dan tertunduk dalam-dalam, sejauh magic and wonder dipahami sebagai hal-hal yang tidak biasa, tidak menjadi bagian dari pengalaman sehari-hari kita, hal-hal yang berada di luar ekspektasi normal dan pikiran sehari-hari. Sains dan teknologi modern memberi kita banyak magic dan wonder.
Hemat saya, dunia sains jauh lebih menakjubkan ketimbang klaim-klaim kaum agamawan tentang mukjizat yang dipahami sebagai kejadian-kejadian yang melawan hukum-hukum alam.
Biasanya kita membayangkan cahaya bergerak menurut garis lurus, tak bisa dibengkokkan. Ini pengalaman kita sehari-hari. Tapi apakah cahaya akan masih bergerak lurus jika sedang melewati sebuah black hole di angkasa luar, yang punya energi sangat besar untuk menyedot apapun ke dalamnya? Magic!
Kita biasanya melihat segala sesuatu muncul karena ada penyebabnya: cause menghasilkan effect. Ini pengalaman kita sehari-hari. Tetapi apakah demikian halnya dalam dunia mekanika quantum, dunia partikel-partikel subatomik, di mana sesuatu bisa muncul dari ketiadaan, without cause, from nothing to something? Magic!
Kita biasa memandang manusia sebagai makhluk berdaging, makhluk biologis. Ini adalah pengalaman sehari-hari kita. Tetapi di ujung dua dekade di depan, sebagaimana diprediksi oleh ilmuwan Ray Kurzweil, biologi akan menyatu dengan teknologi robotik, sehingga akan tercipta bionic humans, percampuran atau hibrida daging dan baja, organ otak dan teknologi kecerdasan buatan. Di awal tahun 2030-an, bionic humans bukan lagi science fiction dalam film-film Hollywood, tapi realitas sehari-hari kita. Sebagai hibrida biologi dan teknologi robotik, organ otak dan teknologi kecerdasan buatan, bionic humans akan cerdas dan kuat luar biasa, tak terbayangkan. A wonder!
Dalam pengalaman sehari-hari kita sekarang, akhir kehidupan manusia adalah kematian, yang membuat kita lenyap sebagai biologi yang membusuk. Tapi dengan sains cryogenics dan teknologi cryonics yang sekarang masih embrionik dan sedang dikembangkan, jasad manusia yang mati, yang sudah dibekukan absolut, akan bisa dihidupkan kembali apa adanya, pada waktu yang diminta dan disepakati. Magic!
Dalam kehidupan sehari-hari sekarang ini, kepada kita terus-menerus diajarkan bahwa kehidupan itu pemberian Tuhan, dan hanya dari Tuhan datangnya. Tapi sains biologi sintetis kini, sebagaimana dipelopori oleh Craig J. Venter di Amerika Serikat, sudah bisa menciptakan kehidupan (dalam bentuk sel-sel sintetik yang bisa memperbanyak diri) hanya dari zat-zat kimiawi yang mati yang persenyawaannya diatur oleh informasi genomik yang disampaikan sebuah komputer. Magic!
Dalam pengalaman sehari-hari sekarang ini, kita menerima terapi dan pengobatan modern lewat dokter dan alat-alat besar teknologi kedokteran. Tapi nanti saat nanoteknologi sudah advanced, yang akan menyembuhkan kita adalah mesin-mesin sebesar molekul yang disuntikkan ke dalam tubuh kita. Mesin-mesin sebesar molekul ini akan dikendarai robot yang akan berperang melawan sel-sel kanker dalam tubuh kita. Magic!
Jadi, sekali lagi, ketika sains dan teknologi melesat maju, kita akan hidup seolah dalam dunia magic and wonder. Ilmuwan terkenal, Arthur C. Clarke, dengan tepat menyatakan, “Any sufficiently advanced technology is indistinguishable from MAGIC.” Amboi!